BadruddinAl-'Aini di Syarhnya tentang shohih Al-Bukhori (126/11) beliau menjelaskan perkataan Umar bin Al-Khatab tentang sebaik-baiknya bid'ah. Apabila bid'ah berada dalam ruang lingkup kebaikan dan syari'at maka menjadi bid'ah hasanah, dan apabila bid'ah berada dalam ruang lingkup keburukan dalam pandangan syari'at maka menjadi bid'ah Dalam kitab Risalah Ahlussunnah wal Jama’ah karya Hadratusy Syeikh Hasyim Asy’ari, istilah "bid’ah" ini disandingkan dengan istilah "sunnah". Seperti dikutip Hadratusy Syeikh, menurut Syaikh Zaruq dalam kitab Uddatul Murid, kata bid’ah secara syara’ adalah munculnya perkara baru dalam agama yang kemudian mirip dengan bagian ajaran agama itu, padahal bukan bagian darinya, baik formal maupun hakekatnya. Hal ini sesuai dengan hadits Rasulullah SAW,” Barangsiapa memunculkan perkara baru dalam urusan kami agama yang tidak merupakan bagian dari agama itu, maka perkara tersebut tertolak”. Nabi juga bersabda,”Setiap perkara baru adalah bid’ah”. Menurut para ulama’, kedua hadits ini tidak berarti bahwa semua perkara yang baru dalam urusan agama tergolong bidah, karena mungkin saja ada perkara baru dalam urusan agama, namun masih sesuai dengan ruh syari’ah atau salah satu cabangnya furu’. Bid’ah dalam arti lainnya adalah sesuatu yang baru yang tidak ada sebelumnya, sebagaimana firman Allah بَدِيْعُ السَّموتِ وَاْلاَرْضِ “Allah yang menciptakan langit dan bumi”. Al-Baqarah 2 117. Adapun bid’ah dalam hukum Islam ialah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. Timbul suatu pertanyaan, Apakah segala sesuatu yang diada-adakan oleh ulama’ yang tidak ada pada zaman Nabi SAW. pasti jeleknya? Jawaban yang benar, belum tentu! Ada dua kemungkinan; mungkin jelek dan mungkin baik. Kapan bid’ah itu baik dan kapan bid’ah itu jelek? Menurut Imam Syafi’i, sebagai berikut; اَلْبِدْعَةُ ِبدْعَتَانِ مَحْمُوْدَةٌ وَمَذْمُوْمَةٌ, فَمَاوَافَقَ السُّنَّةَ مَحْمُوْدَةٌ وَمَاخَالَفَهَا فَهُوَ مَذْمُوْمَةٌ “Bid’ah ada dua, bid’ah terpuji dan bid’ah tercela, bid’ah yang sesuai dengan sunnah itulah yang terpuji dan bid’ah yang bertentangan dengan sunnah itulah yang tercela”. Sayyidina Umar Ibnul Khattab, setelah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah dengan dua puluh raka’at yang diimami oleh sahabat Ubai bin Ka’ab beliau berkata نِعْمَتِ اْلبِدْعَةُ هذِهِ “Sebagus bid’ah itu ialah ini”. Bolehkah kita mengadakan Bid’ah? Untuk menjawab pertanyaan ini, marilah kita kembali kepada hadits Nabi SAW. yang menjelaskan adanya Bid’ah hasanah dan bid’ah sayyiah. مَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِ اَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ سَنَّ فِى اْلاِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِئَةً فَعَلَيْهِ وِزْرُهَاوَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ غَيْرِاَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْئًا. القائى, ج 5ص 76. “Barang siapa yang mengada-adakan satu cara yang baik dalam Islam maka ia akan mendapatkan pahala orang yang turut mengerjakannya dengan tidak mengurangi dari pahala mereka sedikit pun, dan barang siapa yang mengada-adakan suatu cara yang jelek maka ia akan mendapat dosa dan dosa-dosa orang yang ikut mengerjakan dengan tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikit pun”. Apakah yang dimaksud dengan segala bid’ah itu sesat dan segala kesesatan itu masuk neraka? كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ “Semua bid’ah itu sesat dan semua kesesatan itu di neraka”. Mari kita pahami menurut Ilmu Balaghah. Setiap benda pasti mempunyai sifat, tidak mungkin ada benda yang tidak bersifat, sifat itu bisa bertentangan seperti baik dan buruk, panjang dan pendek, gemuk dan kurus. Mustahil ada benda dalam satu waktu dan satu tempat mempunyai dua sifat yang bertentangan, kalau dikatakan benda itu baik mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan jelek; kalau dikatakan si A berdiri mustahil pada waktu dan tempat yang sama dikatakan duduk. Mari kita kembali kepada hadits. كُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ “Semua bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan itu masuk neraka”. Bid’ah itu kata benda, tentu mempunyai sifat, tidak mungkin ia tidak mempunyai sifat, mungkin saja ia bersifat baik atau mungkin bersifat jelek. Sifat tersebut tidak ditulis dan tidak disebutkan dalam hadits di atas; dalam Ilmu Balaghah dikatakan, حدف الصفة على الموصوف “membuang sifat dari benda yang bersifat”. Seandainya kita tulis sifat bid’ah maka terjadi dua kemungkinan Kemungkinan pertama كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ “Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”. Hal ini tidak mungkin, bagaimana sifat baik dan sesat berkumpul dalam satu benda dan dalam waktu dan tempat yang sama, hal itu tentu mustahil. Maka yang bisa dipastikan kemungkinan yang kedua كُلُّ بِدْعَةٍ سَيِئَةٍ ضَلاَ لَةٍ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّاِر “Semua bid’ah yang jelek itu sesat, dan semua kesesatan itu masuk neraka”. -KH. Nuril Huda, Ketua Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama LDNU dalam "Ahlussunnah wal Jama'ah Aswaja Menjawab", diterbitkan oleh PP LDNU Muhammadiyahsendiri cenderung tidak membagi bid'ah menjadi hasanah dan sayyiah. Selama suatu amalan ibadah ada landasan dalil dan dengan sistem istidlal yang bisa dipertanggungjawabkan dan dianggap kuat (rajih,) maka amalan itu bisa dilakukan. Jika pendapat itu lemah, maka tidak dapat dilakukan. 1. Pengertian Bid’ah Soal Syaikh yang mulia, apakah bid’ah itu? Jawab Bid’ah telah dinyatakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dalam sabdanya “Jauhilah oleh kalian perkara yang diada-adakan karena setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka.” [1] Dengan demikian, semua bid’ah, baik yang baru maupun yang sudah berjalan lama, berdosa jika dilakukan. Demikianlah, karena Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyatakan dalam sabdanya “Tempatnya di dalam neraka,” maksudnya perbuatan sesat ini menyebabkan pelakunya mendapat siksa di dalam neraka. Jika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan umatnya dari segala perbuatan bid’ah maka logikanya bid’ah itu merusak. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyebutkan bid’ah secara umum, tanpa mengecualikan hal tertentu, dengan sabdanya “Setiap bid’ah itu sesat.” Kemudian, semua bid’ah pada dasarnya adalah semua perbuatan ibadah yang mengikuti ketentuan di luar syariat Islam. Hal ini berarti si pelaku bid’ah menganggap syariat tidak sempurna sehingga ia menyempurnakannya dengan ibadah yang direkayasa yang dianggapnya dapat digunakan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Kepada orang seperti ini kami mengatakan “Setiap bid’ah itu sesat dan setiap kesesatan tempatnya di dalam neraka. Jadi, wajib hukumnya meninggalkan semua bid’ah. Seseorang tidak boleh melakukan ibadah kecuali mengikuti syariat Allah dan Rasul-Nya agar benar-benar menjadikan beliau sebagai panutan, sedangkan orang yang menempuh jalan bid’ah berarti telah menjadikan si pembuat bid’ah sebagai panutannya di luar Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika ia melakukan perbuatan bid’ahnya.” Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaaik, juz 2, hlm. 291 2. Makna Bid’ah dan Kaidahnya Soal Apakah makna bid’ah dan bagaimana pedomannya? Apakah ada bid’ah hasanah? Apa maksud dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis satu rintisan yang baik dalam Islam…?” Jawab Makna bid’ah dalam kaidah syariat yaitu melakukan ibadah kepada Allah di luar dari syariat yang ditetapkan Allah. Anda dapat juga mendefinisikannya sebagai melakukan ibadah di luar dari contoh yang diberikan Nabi shallallahu alaihi wasallam dan para khalifahnya yang terpimpin. Kaidah atau definisi pertama terambil dari firman Allah “Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang mensyariatkan kepada mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” QS. Asy-Syuura 21 Kaidah atau definisi kedua terambil dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Ikutilah oleh kalian sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku yang lurus lagi terpimpin. Peganglah ia dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Waspadalah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan.” [2] Setiap orang yang melakukan ibadah kepada Allah dengan melakukan sesuatu yang tidak disyariatkan oleh Allah atau tidak pernah dilakukan oleh Nabi shallallahu alaihi wasallam atau para khalifah yang terpimpin berarti seorang pelaku bid’ah, baik dalam perkara berkenaan dengan nama-nama Allah, sifat-sifat-Nya, hukum-hukum-Nya, atau syariat-Nya. Adapun perkara-perkara yang sudah menjadi adat atau kebiasaan masyarakat menurut agama tidak dinamakan bid’ah sekalipun menurut bahasa disebut bid’ah juga. Bid’ah menurut bahasa bukanlah bid’ah yang dimaksudkan oleh agama dan bukan pula bid’ah yang diperingatkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk dijauhi. Dalam agama selamanya tidak ada yang disebut bid’ah hasanah baik. Adapun yang disebut rintisan yang baik sebagaimana tersebut di dalam hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah sesuatu yang sesuai dengan. Hal ini mencakup orang yang merintis perbuatan yang baik, menghidupkan kembali perbuatan baik setelah ditinggalkan orang, atau melakukan suatu kebiasaan yang menjadi sarana bagi terlaksananya perbuatan ibadah. Sunnah terbagi tiga macam Pertama, Sunnah dalam pengertian merintis suatu perbuatan. Pengertian inilah yang dimaksud oleh hadits Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang anjuran beliau untuk memberi sedekah kepada para tamu beliau di Madinah karena mereka sangat memerlukannya. Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan bersedekah, maka datanglah seorang laki-laki Anshar membawa nampan perak penuh makanan yang dibawanya dengan berat, lalu ia letakkan di pangkuan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Nabi shallallahu alaihi wasallam kemudian bersabda “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya yang baik.” [3] Laki-laki Anshar ini merintis suatu perbuatan bukan merintis suatu syariat. Kedua, Sunnah dalam pengertian seseorang melakukan kembali kebiasaan baik yang telah ditinggalkan, berarti ia menghidupkannya kembali. Jadi, orang ini merintis dengan pengertian menghidupkannya kembali, sekalipun dahulu sudah pernah ada bukan ia yang memulainya. Ketiga, Sunnah dalam pengertian melakukan suatu yang dapat menjadi jalan terlaksananya sesuatu yang dibenarkan syariat, seperti membangun madrasah dan menerbitkan buku. Hal ini tidak dimaksudkan sebagai usaha melakukan ibadah itu sendiri, tetapi sebagai sarana untuk melaksanakan yang lain. Semua ini masuk dalam pengertian dari sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam maka ia memperoleh pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya yang baik.” Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 2, hlm. 291-293 3. Memperlakukan Ahli Bid’ah Soal Bagaimana orang yang mengikuti Sunnah Nabi shallallahu alaihi wasallam memperlakukan ahli bid’ah. Apakah boleh menjauhinya dan mendiamkannya? Jawab Bid’ah itu ada dua macam yaitu bid’ah yang menyebabkan kekafiran dan bid’ah yang lain. Kita wajib mengajak mereka yang mengaku beragama Islam, baik yang melakukan bid’ah yang menyebabkan kekafiran maupun yang tidak, untuk mengikuti kebenaran dengan keterangan yang benar, tanpa mencercanya, kecuali setelah terbukti bahwa yang bersangkutan tidak mau menerima kebenaran. Demikianlah, karena Allah telah memerintahkan kepada Nabi-Nya dalam firman-Nya “Janganlah kalian memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan…” QS. Al-An’aam 108 Kita terlebih dahulu mengajak mereka kepada kebenaran dengan memberikan keterangan yang benar serta mengemukakan dalil-dalilnya. Kebenaran akan diterima oleh orang yang memiliki fitrah yang sehat. Apabila ternyata ia menolak dan mengingkarinya maka kita jelaskan kepada mereka kebatilannya karena menjelaskan kebatilan mereka merupakan suatu kewajiban. Akan tetapi, kita tidak melakukan debat kusir dengan mereka. Adapun menjauhi mereka, hal ini tergantung pada bid’ahnya. Jika bid’ahnya menyebabkan kekafiran maka wajib dijauhi dan jika tidak seperti itu maka kita menahan diri jangan sampai menjauhi dan mendiamkannya. Kalau dengan menjauhi dan mendiamkannya ternyata membawa kebaikan maka kita boleh melakukannya. Jika ternyata tidak membawa kebaikan maka jangan kita lakukan. Hal ini karena pada dasarnya seorang mukmin diharamkan menjauhi dan mendiamkan saudaranya, sebagaimana sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Seorang muslim tidak halal menjauhi dan mendiamkan saudaranya lebih dari tiga hari.” [4] Setiap mukmin, walaupun fasik, haram dijauhi dan didiamkan, kalau ternyata langkah ini tidak membawa kebaikan. Jika membawa kebaikan maka kita jauhi dan diamkan karena langkah ini merupakan obat. Akan tetapi, jika tidak membawa kebaikan, bahkan membuat yang bersangkutan semakin berbuat maksiat dan durjana, maka langkah mendiamkan dan menjauhi itu harus ditinggalkan. Mungkin ada yang membantah dengan alasan bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam dahulu pernah menjauhi dan mendiamkan Ka’ab bin Malik dan dua orang temannya yang tidak mau ikut pergi perang Tabuk. Jawabnya, langkah seperti ini muncul dari Nabi shallallahu alaihi wasallam dan beliau menyuruh shahabat-shahabatnya menjauhi dan mendiamkan ketiga orang itu karena langkah tersebut bermanfaat besar. Bahkan, para shahabat bertambah keras menjalankan perintah tersebut sehingga ketika Ka’ab bin Malik mendapat surat dari raja Ghassan yang isinya “Saya mendengar bahwa teman anda, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, telah mengucilkan anda dan anda berada di tempat yang tidak enak dan terhina, karena itu kami bersimpati kepada anda,” lalu Ka’ab bin Malik dengan rasa tertekan dan kesal mengambil surat ini dan pergi kemudian membakarnya di dapur. Pengucilan terhadap ketiga orang tersebut membawa kebaikan yang besar. Selanjutnya, hasilnya sungguh-sungguh tidak pernah terbayangkan bahwa Allah menurunkan ayat-ayat Al-Qur’an tentang mereka ini yang dibaca orang sampai hari kiamat. Allah berfirman “Sungguh, Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sungguh, terhadap tiga orang yang ditangguhkan penerimaan taubat mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit pula terasa oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari siksa Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sungguh Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.” QS. At-Taubah 117-118 Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 2, hlm. 293-295 4. Menyanggah Pernyataan Ahli Bid’ah Soal Bagaimana kita menyanggah ahli bid’ah yang menjadikan sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam,” sebagai dalil? Jawab Kita bantah mereka dengan menyatakan tentang sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya.” [5] Juga sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam “Ikutilah oleh kalian sunnahku dan sunnah para khalifah sesudahku yang lurus lagi terpimpin. Peganglah ia dan gigitlah ia dengan gigi-gigi geraham kalian. Waspadalah kalian dari perkara-perkara yang diada-adakan. Setiap yang diada-adakan adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah kesesatan.” [6] Bahwa yang dimaksud dengan merintis kebaikan haruslah ditempatkan sesuai dengan sebab munculnya hadits ini, yaitu Nabi shallallahu alaihi wasallam menganjurkan orang untuk memberi sedekah kepada kaum dari Bani Mudhar yang datang kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam dalam keadaan sangat membutuhkan dan lapar. Oleh karena itu, datanglah seorang laki-laki Anshar membawa nampan perak penuh makanan, lalu ia letakkan di hadapan Nabi shallallahu alaihi wasallam. Nabi shallallahu alaihi wasallam kemudian bersabda “Barangsiapa merintis suatu rintisan yang baik dalam Islam, maka ia mendapat pahalanya dan pahala orang lain yang melakukan rintisannya.” Bila kita memahami sebab munculnya hadits ini maka kita dapat mendudukkan makna yang dimaksud bahwa yang dimaksud dengan merintis suatu amal kebajikan adalah yang bukan bersifat membuat syariat baru. Hal ini karena hak membuat syariat hanya ada pada Allah dan Rasul-Nya. Adapun yang dimaksud dengan merintis suatu rintisan adalah mempelopori amal kebajikan dan mengajak manusia untuk melakukannya. Oleh karena itu, orang seperti ini mendapat pahala dari kebaikan rintisannya dan dari orang lain yang mengikutinya. Itulah yang dimaksud oleh hadits tersebut. Kalimat ini dapat pula diartikan “Barangsiapa membuat suatu sarana yang dapat dipakai untuk melakukan ibadah dan memberikan teladan kepada manusia untuk melaksanakan sesuatu yang baik, seperti mengarang kitab, menyusun sistematika ilmu, membangun sekolah-sekolah, dan lain-lain, yang menurut syariat merupakan jalan yang dibenarkan.” Jika seseorang merintis membuat sarana yang dapat digunakan untuk memenuhi hal-hal yang diperintahkan oleh syariat, bukan hal yang dilarang, maka usahanya itu termasuk dalam pengertian hadits ini. Seandainya hadits di atas dapat dimaknakan bahwa manusia boleh membuat suatu urusan agama sesukanya maka hal itu berarti agama Islam ini di masa hayat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam belum sempurna. Hal ini juga berarti tiap-tiap umat berhak membuat syariat dan jalan sendiri. Jika orang yang berbuat bid’ah mempunyai anggapan bahwa bid’ah seperti ini sebagai bid’ah yang baik maka anggapannya itu salah. Hal ini karena anggapannya itu telah dinyatakan sesat oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dengan sabdanya “Setiap bid’ah itu sesat.” Syaikh Ibnu Utsaimin, Majmu’ Fataawa wa Rasaail, juz 2, hlm. 295-296 Catatan kaki [1] HR. Abu Dawud no. 3991 CD dan Nasa’i no. 1560 CD. [2] HR. Abu Dawud no. 3991 CD. [3] HR. Muslim no. 1691 CD. [4] HR. Bukhari no. 5612 CD. [5] HR. Muslim no. 1691 CD. [6] HR. Abu Dawud no. 3991 CD. Sumber Fatwa Kontemporer Ulama Besar Tanah Suci, disusun oleh Khalid Al-Juraisy penerjemah Ustadz Muhammad Thalib, penerbit Media Hidayah cet. Pertama, Rajab 1424 H/September 2003, hal. 205-213. KirimPertanyaan . Jawaban-jawaban baru . Mengenal Islam Tentang Website . Petunjuk Pengguna . Kategori Tema Fiqih dan Usul Fiqih Usul fikih bidah bidah Membatalkan Mengikuti . 695 15-02-2015 Menghatamkan Al Qur'an, Apakah Perlu Dirayakan ? Barangsiapamenimbulkan sesuatu yang baru dalam urusan (agama) kita yang bukan dari ajarannya maka tertolak. (HR. Bukhari) Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah Kitabullah, dan sebaik-baik jalan hidup ialah jalan hidup Muhammad, sedangkan seburuk-buruk urusan agama ialah yang diada-adakan. Tiap-tiap yang diada-adakan adalah bid'ah, dan
Jawaban2: Memahami dengan benar [المصالح المرسلة] "al-masholihul mursalah". Yang mendukung bid'ah hasanah kurang paham, sehingga menggiranya adalah bid'ah. Memang keduanya hampir mirip yaitu sama-sama kelihatannya hal yang baru dalam agama. Tetapi hakikatnya al-masholihul mursalah ada dalilnya dalam syariat. Bagi yang
4atMX.
  • 1oqi08pn9n.pages.dev/201
  • 1oqi08pn9n.pages.dev/153
  • 1oqi08pn9n.pages.dev/140
  • 1oqi08pn9n.pages.dev/290
  • 1oqi08pn9n.pages.dev/201
  • 1oqi08pn9n.pages.dev/287
  • 1oqi08pn9n.pages.dev/235
  • 1oqi08pn9n.pages.dev/303
  • 1oqi08pn9n.pages.dev/333
  • pertanyaan tentang bid ah